Madinah gempar. Fitnah keji terhadap keluarga Nabi saw merebak. Aisyah, istri Nabi saw dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin Muaththal. Tuduhan itu seolah menemukan fakta: keduanya ditemukan berjalan berduaan sepulang dari perang Bani Musthaliq!
Lalu, apa yang dilakukan Nabi saw mengatasi fitnah ini? Lembaran sejarah mengajarkan kepada kita, bagaimana beliau memberantas fenomena ini sampai akarnya. Sebuah sikap yang sangat perlu diteladani oleh qiyadah dalam memberikan terapi atas peristiwa semacam ini.
Pertama, melakukan konfirmasi dan klarifikasi. Ini yang kita saksikan melalui beberapa pertanyaan yang diajukan Rasulullah saw, kepada Zaid sebelum memutuskan kebenaran laporannya. Nabi saw sendiri melakukan hal itu. Qiyadah mana pun seharusnya melakukan klarifikasi sebelum mengeluarkan keputusan.
Jamaah yang tidak menghargai anggotanya takkan mendapatkan manfaat darinya di kala mengalami cobaan. Saat ini setelah era Rasulullah saw, kepada kita tidak diturunkan wahyu yang dapat mengabsahkan kejadian atau mementahkannya. Untuk itu, ada data-data dimana Islam telah menetapkan syarat-syaratnya, di antaranya adanya kesaksian dan keadilan atau data-data yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan modern, berupa alat perekam atau foto yang merekam data-data pendukung, yang dapat membantu keluasan dan kebenaran penyidik.
Kedua, dalam menanggulangi merebaknya fitnah ini, Rasulullah saw pergi di waktu yang tidak biasanya sebagaimana yang dituturkan Ibnu Hisyam dalam Sirah, “Rasulullah saw pergi bersama beberapa orang shahabat pada siang itu hingga sore, dilanjutkan malam itu hingga pagi harinya, kemudian di hari berikutnya hingga mereka disengat matahari. Kemudian beliau berhenti di suatu tempat bersama para shahabat hingga mereka mengantuk dan tertidur. Rasulullah saw melakukan semua itu agar mereka dapat melupakan pembicaraan seputar kejadian sebelumnya.
Tahapan berikutnya adalah menyibukkan orang-orang dari membicarakan fitnah itu. Sebab, masyarakat yang tidak sibuk, biasanya tak ada yang mereka bicarakan selain fitnah dan gosip. Qiyadah yang bijak dapat mengisi waktu kosong para pemudanya dengan sesuatu yang produktif atau dengan latihan kecakapan yang sesuai bagi mereka atau jihad langsung melawan musuh dimana tenaga dan kekuatan mereka bisa manfaatkan, dan mengalihkan mereka dari kasak-kusuk dan berbagai pertanyaan. Atau menghindarkan mereka dari reaksi positif maupun negatif terhadap kebohongan semacam ini. Kalau hari ini, pergaulan umat Islam dipenuhi fitnah dan gosip, itu lantaran banyaknya pengangguran di kalangan kaum Muslimin. Kalau mereka sibuk, takkan terjadi fitnah, atau fitnah takkan menyebar pesat.
Ketiga, mengemukakan pendapat kepada orang-orang dekat. Beliau melakukan pembicaraan itu kepada anggota inti pasukan. Tidak kepada semua orang. Beliau melakukan terapi dengan penuh kebijakan. Jika hal ini dicerna secara baik oleh jamaah Islam, pasti ia dapat menghindari banyak fitnah. Hendaknya masalah ketakutan hanya tersebar di kalangan tertentu dan tidak kepada semua orang.
Berbeda dengan orang-orang munafik. Mereka biasa menyebarkan desas-desus dan menikmati rasa takut itu. Hal ini sebagaimana digambarkan Allah dengan firman-Nya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS an-Nisa’ (4) : 83).
Pelajaran bagi Kaum Muslimin
Bagi kaum Muslimin, peristiwa ini mengangkat derajat mereka. Kisah ini menjadi ujian berat dan menyakitkan bagi Rasulullah saw, Aisyah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ummu Ruman sang ibu, dan Shafwan bin Muaththal yang disaksikan Rasulullah saw sebagai seorang yang baik dan Allah telah memberi rezeki kepadanya kesyahidan di jalan-Nya sesudah itu.
Seorang Mukmin tentu akan merasa sakit dengan sakitnya Rasulullah saw. Seorang mukmin tidak dapat menahan dirinya dari tangisan, mungkin tidak tahu apakah ia menangisi Rasulullah saw yang dirusak kehormatannya padahal beliau sebaik-baik makhluk, atau Aisyah, wanita yang paling dicintai Rasulullah saw, dan tidaklah Allah memberikan rasa cinta kepadanya terhadap Rasul-Nya kecuali karena kemuliaan dan kehormatannya.
Bagaimana tidak, ia sebaik-baik keluarga Quraisy, keluarga yang seluruhnya beriman; ayahnya, kakeknya, dan saudara-saudaranya. Allah SWT Maha Mengetahui mengatakan setelah orang-orang beiman terombang-ambing dalam musibah dari peristiwa ini selama hampir lima puluh hari, “…..janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu,…” (QS an-Nur: 11).
Sekalipun di dalamnya ada kesulitan besar dan rasa menyakitkan namun ada sisi pelajaran dan pendidikan bagi umat yang jauh lebih baik dari itu semua. Sedangkan orang-orang yang dicoba dengan peristiwa ini, pahalanya di sisi Allah SWT tidak akan dizalimi sekecil apapun, “Tidaklah seorang hamba dizalimi lalu ia bersabar atas kezaliman itu maka Allah pasti menambah kemuliaan baginya.”[1]
Betapa Aisyah terangkat kemuliaannya saat pembuktian dirinya bersih dari segala tuduhan berasal dari al-Qur’an yang selalu dibaca hingga hari kiamat. Padahal klimaks dari harapan Aisyah adalah bilamana Rasulullah saw mendapatkan mimpi tentang kebersihan dirinya. Maka, siapakah yang masih bisa menuduhnya setelah Allah membersihkannya? Kalaupun ada yang masih menuduh Aisyah, berarti ia telah mengingkari firman Allah.
Alangkah celakanya kaum Syiah dengan keyakinannya yang batil terkait tuduhan mereka kepada Aisyah dan kepada Abu Bakar. Peristiwa ini adalah fitnah yang justru makin menampakkan kemunafikan orang-orang munafiq dan keyakinan orang-orang beriman.
Orang yang mendesain fitnah ini, Allah janjikan dengan siksaan pedih di akhirat. Sementara orang-orang beriman yang menganggap remeh dengan menyebarkan berita bohong ini dan menyangkanya sebagai hal yang biasa, Allah didik mereka dengan penegakan hukum hadd atas mereka. Sehingga mereka menjadi ibrah bagi orang-orang beriman lainnya.
Betapa sering kejadian buruk dan cobaan karena anggapan remeh terhadap dosa kecil. Di antara hasil dari peristiwa ini adalah munculnya fitnah antara kaum Aus dan Khazraj hingga mereka nyaris saling bunuh. Barangkali aturan tentang diharamkannya menuduh dan hukum hadd-nya serta diharamkannya menyebarkan berita yang belum pasti selain peristiwa ini, tidak akan mendapatkan sambutan besar seperti sambutan datangnya ayat-ayat setelah bencana besar ini. Maka, peristiwa ini bisa berarti pendidikan rabbani bagi umat. Dengan demikian, akan menambah keimanan orang-orang beriman dan menampakkan kemunafikan orang-orang munafiq.
Dari peritiwa ini juga dipetik penjelasan bagaimana Allah memberi jalan keluar dan kebahagiaan setelah masa sulit dan ujian. Hingga ketika permasalahan sudah sampai di puncaknya, Allah memberikan sesuatu yang dapat menenangkan jiwa mereka dari wahyu kepada Rasulullah saw sehingga turun laksana gerimis di saat kekeringan dan kepayahan.
Imam az-Zamakhzyari mengatakan, makna “itu baik bagi mereka” adalah karena mereka memperoleh pahala yang besar sebab sebelumnya mereka mendapat cobaan dan bencana yang besar. Bahwa ayat yang turun sebanyak 18 (delapan belas) yang masing-masing mempunyai makna tersendiri, ini semua adalah penghormatan kepada Rasulullah saw dan sebagai hiburan bagi beliau, serta penyucian bagi Ummul Mukminin dan pembersihan bagi keluarganya, sekaligus sebagai peringatan bagi siapa saja yang membicarakannya atau mendengarnya. Serta peringatan kembali bagi semua yang mendengar dan membaca (ayat) hingga hari kiamat, di samping berbagai pelajaran agama, hukum-hukum dan etika yang harus diketahui oleh semuanya.[2]
Imam al-Qurthubi menambahkan, Imam Malik berkata, “Siapa saja yang menghujat Abu Bakar, ia layak mendapatkan hukuman. Siapa yang menghujat Umar, layak mendapat hukuman. Siapa saja yang menghujat Aisyah, maka ia dibunuh. Sebab Allah SWT berfirman, “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya. Jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. an-Nur: 17).
Ibnul-Arabi menambahkan juga, para pengikut Madzhab Syafii mengatakan, “Siapa yang menghujat Aisyah, maka ia mendapatkan hukuman sebagaimana terhadap orang-orang beriman lainnya, dan bukan berarti “…jika kamu orang-orang yang beriman” tentang Aisyah karena perbuatan tersebut kufur. Namun, seperti yang disabdakan Nabi saw, “Tidaklah seorang beriman ketika ia tidak menjamin keselamatan tetangganya dari keburukannya.”[3]
Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firmannya dalam surah an-Nuur ayat 11 sampai dengan 21.
Sebulan kemudian keraguan dan keguncangan itu hilang dari Madinah. Kedok kaum munafik pun tersingkap. Menurut Ibnu Ishaq, setelah peristiwa itu, apabila melakukan tindakan-tindakan baru, ia (Abdullah bin Ubay, gembong munafik) dicela oleh kaumnya sendiri.[4]
Selain hampir menyebabkan perang antar saudara, peristiwa ini telah membuat Shafwan bin
Muaththal dan Hassan bin Tsabit terlibat perkelahian. Ibnu Ishaq menuturkan, begitu mendengar kabar tersebut, Shafwan mendatangi Hasan bin Tsabit dengan membawa pedang. Shafwan menghadang Hasan lalu memukulnya.
Ketika melihat hal itu, Tsabit bin Qais bin Syammas meloncat ke arah Shafwan. Ia segera mengikat kedua tangannya ke leher dan membawanya ke Bani Harits bin Khazraj. Dalam perjalanan ia bertemu dengan Abdullah bin Rawahah. Abdullah heran melihat kondisi mereka. Lalu, kasus tersebut dibawa ke Rasulullah saw.
Beliau segera memanggil Hasan bin Tsabit dan menasihatinya. Sebagai ganti rugi atas pemukulan Shafwan, Nabi saw memberi Tsabit sebuah istana Biyaraha yang semula milik Thalhah bin Sahl yang telah diberikan kepada Rasulullah saw. Selain itu, Nabi saw juga memberikan seorang budaknya Sirrin hadiah dari raja Mesir kepada Hasan yang kemudian melahirkan anak bernama Abdurahman bin Hassan.
Belakangan, menurut Aisyah, orang-orang pun bertanya tentang Shafwan. Didapati ternyata dia seorang yang impoten dan tidak bisa menggauli wanita. Tak lama setelah itu, Shafwan gugur sebagai syahid.[5]
Sebuah riwayat dari jalur Urwah bin Zubair disebutkan, Aisyah mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya laki-laki yang di-issu-kan itu berkata, ‘Maha Suci Allah, demi Dzat diriku ada pada-Nya, saya tidak pernah memasuki bilik wanita sama sekali.” Setelah itu ia gugur di medan jihad di jalan Allah.[6]
Jadi, dilihat dari berbagai penjelasan, berita buruk tentang Aisyah ini terbantahkan. Ia hanyalah peristiwa yang menjadi makanan empuk orang-orang munafik untuk memecah belah umat Islam saat itu.[7]
Orang Munafik Tak Bekerja Sendiri
Ketika fitnah Haditsul Ifki merebak, yang langsung terlintas dalam bayangan kita adanya berita itu akibat ulah orang-orang munafik. Merekalah yang merancang semua itu. Namun, al-Qur’an menjelaskan bukti bahwa yang membuat gosip itu justru sekelompok ‘oknum’ kaum Mukmimin. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari goongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia adalah baik bagi kalian…” (QS an-Nur (24) : 11).
Secara berturut-turut ayat al-Qur’an mendebat kaum Mukminin yang terlibat pada peristiwa tersebut. “Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata,” (QS an-Nur (24) : 12 )
Sementara itu peran yang dimainkan orang-orang munafik adalah meniup-niupkan berita ini dan menyebarkannya. Aisyah mengisyaratkan bahwa yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa ini adalah Abdullah bin Ubay, sebagaimana yang dikatakannya, “Bagian terbesar pada peristiwa itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul yang memberitakan kepada beberapa orang Khazraj tentang apa yang dikatakan Misthah dan ia menjaminnya.”
Aisyah menceritakan tersebarnya berita itu, “….ketika mereka telah tenang orang itu muncul dan menuntun kendaraanku, lalu orang-orang penyebar gosip itu mengatakan apa yang mereka katakan dan rombongan menjadi gempar. Demi Allah, aku tidak tahu-menahu sedikit pun soal itu….”
Orang-orang munafik tidak akan berani menyebarkan berita itu serta mengguncingkannya setelah kebusukan mereka terbongkar habis melalui Ibnu Ubay. Tersebarnya berita itu dan tergoncangnya barisan Islam membuat peluang mereka sangat terbuka lebar untuk terlibat dan untuk menyalakan api dan balik tabit. Barangkali Abdullah bin Ubay sendiri yang tampak dalam nash ini sebagai orang yang mengambil bagian terbesar.
Di kalangan barisan Islam, terdapat tiga orang yang berperan dalam peristiwa ini. Yakni, Hassan bin Tsabit, penyair Rasulullah saw, orang yang Rasulullah saw pernah bersabda kepadanya, “Seranglah dan Ruhul Qudus bersamamu!”. Lalu, Misthah bin Utsatsah, salah seorang Muhajirin dan termasuk veteran Perang Badar, dan anak bibi Aisyah yang tinggal di rumah Abu Bakar. Kemudian, Hamnah binti Jahsy, anak bibi Rasulullah saw dan istri seorang syahid dalam Islam Mush’ab bin Umair.
Jadi, fenomena orang-orang munafik sebagai suatu kelompok muncul pertama kali menjelang Perang Uhud dan mencapai puncak dan bahayanya bagi barisan Islam pada Perang Uhud itu sendiri.
Selanjutnya satu demi satu habis hanya tinggal beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari.
Barisan Islam menjadi bersih dan murni, berkat tarbiyah Nabi saw, yang mendorong banyak di antara mereka masuk Islam dan bagus keislamannya. Fenomena ini muncul kembali pasca-Fathu Makkah saat Islam mulai menyabar ke seantero negeri Arab. Yang paling mencolok dalam fenomena tersebut adalah pada Perang Tabuk, dimana surah Bara’ah membongkar rencana dan strategi jahat mereka.
Munculnya kemunafikan pada Fathu Makkah ini disebabkan banyaknya orang masuk Islam secara terpaksa. Rasa takut membuat mereka menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafiran. Ini yang menjadi benih kemunafikan. Wallahu a’lam.
Hepi Andi Bastoni, MA
Dipublukasikan pertama oleh www.al-intima.com
[1] Bagian dari Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 9/199, 200 dalam Bab Zuhud. Ia mengatakan: ini hadits hasan shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/231 dari Hadits Abi Kabisyah al-Anmari. Hadits ini juga mempunyai penguat dari riwayat Abu Hurairah dalam shahih Muslim dengan redaksi; “dan tidaklah seorang hamba bertawadhu kecuali Allah meninggikannya.
[2] Al-Kasysyaf 3/217,218
[3] HR Bukhari 10/457 bab Adab, Imam Muslim 2/17 tentang Iman
[4]Ibnu Hisyam II/297
[5] Ibnu Hisyam II/230
[6] HR Bukhari 7/486-499, dan Imam Muslim 18/102-113 daam Bab Taubat
[7] Disarikan dari ar-Rahiqul Makhtum372-373, Ibnu Hisyam II/290-292
sumber : http://www.islamedia.web.id