0



Suatu kali, saya ‘terpaksa’ memecahkan tabungan yang ada di rumah, untuk suatu keperluan penting dan mendesak, menyangkut kelanjutan sekolah anak-anak asuh/binaan. Satu persatu lembaran uang kertas dan recehan dikelompokkan berdasarkan nilai nominal, kemudian kita hitung jumlah total nominalnya. Sepanjang mengelompokkan dan menghitung, selalu terbersit harapan dan keinginan, agar masih banyak lagi lembaran-lembaran uang dengan nilai nominal besar, yang saya temukan, semakin lama menghitung, semakin berharap akan ada tambahan lembaran atau recehan logam berharga. Sampai pada akhirnya ujung dari perhitungan itupun berakhir, dengan jumlah nominal sekian. Mau nggak mau tangan ini pun berhenti menghitung, dan pikiran ini pun berhenti berharap menemukan kembali lembaran uang di antara reruntuhan celengan, karena memang kenyataannya sudah tidak lagi lembaran dan recehan uang di sana. Dug… ternyata jumlah total nominal yang terkumpul, belum cukup untuk menutup kebutuhan yang dimaksud. Untunglah setelah di ingat-ingat kembali, masih ada uang cadangan hasil usaha bisnis kecil-kecilan yang bisa saya pakai untuk menggenapkan kebutuhan.
Saat itu saya berpikir, mungkin kurang lebih seperti ini, keadaan kita di yaumil akhir nanti, ketika menunggu saat-saat dan detik-detik menunggu perhitungan amal kita, atau saat2 kita diperlihatkan ‘video’ amalan kita. Ada harapan besar, agar tabungan amalan kita banyak menyimpan amal-amal yang sangat berharga, amal amal yang ikhlas, amal-amal yang menghadirkan keridhaan Allah, amal-amal yang berbobot, dan berharap masih banyak lagi amalan-amalan yang tersimpan dalam tabungan kita, dan terus berharap menemukan kembali, dan berharap lagi dan lagi, sampai pada akhirnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa tabungan amal kita ‘hanya sekian dan sekian’. Mungkin juga muncul penyesalan, kenapa tabungan kita sudah tidak ada tambahan lagi yang bisa kita hitung, dan berpikir, andaikan dahulu kita menabung dengan amalan-amalan yang berharga, amalan-amalan yang lebih baik lagi, pastilah sekarang kita mendapatkan hasil tabungan yang memuaskan.
Tapi sayang, berbeda dengan celengan uang di dunia, kita masih bisa membeli/memiliki celengan lagi untuk menabung kembali dengan nominal yang lebih besar dan lebih banyak,, tabungan dan catatan amal kita di yaumil akhir nanti, sudah selesai, finish, nggak ada lagi kesempatan untuk menabung, semuanya sudah terlambat. Allah tidak akan lagi mengembalikan kita ke dunia. Masa menabung, masa menanam, masa beramal telah berakhir dan ditutup. Duhai alangkah menyesalnya orang-orang yang mendapatkan kenyataan bahwa tabungan /catatan amalnya tidak ada yang berharga, tabungan catatan amalnya tidak cukup untuk menyelamatkannya dari siksa api neraka. Ya, yang ada hanya penyesalan yang tidak berguna lagi. Hal ini Allah gambarkan dalam surat As-sajadah ayat 12-13:
Dan, jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.”
Dan kalau kami menghendaki niscaya kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari pada-Ku: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.”
Ketika di dunia, orang menyesal biasanya direfleksikan dengan menggigit satu jari telunjuknya, sementara refleksi penyesalan orang-orang zhalim di akhirat nanti, digambarkan oleh Allah SWT, dalam Al-Qur’an, dengan menggigit dua jari sekaligus. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat Al-Furqan ayat 27; “Dan ingatlah pada hari ketika orang-orang zhalim menggigit kedua jarinya (karena menyesali perbuatannya) seraya berkata “Wahai, sekiranya dahulu aku mengambil jalan bersama Rasul “.
Demikianlah, Allah selalu mengingatkan kita dengan ayat-ayat-Nya yang sudah jelas, maka na’udzubillah min dzalik, jangan sampai kita termasuk orang-orang yang menyesal nanti, dengan mengatakan, duhai sekiranya dahulu aku sepenuh hati dalam berdakwah, duhai sekiranya dahulu aku mendidik anak-anakku dengan sepenuh hati, duhai sekiranya dahulu aku menjadi suami yang baik dan tidak menzhalimi istri, duhai sekiranya dahulu aku berbakti pada suami dengan sepenuh hati, duhai sekiranya dahulu aku menginfaqkan harta terbaikku, dan seterusnya. Maka sebelum semuanya menjadi penyesalan yang tak berguna, mari kita isi setiap detik di dunia ini untuk beramal ‘menabung’ sepenuh


Sumber: http://www.dakwatuna.com

Posting Komentar

 
Top