0

Dari Karidi, Relawan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) yang beberapa bulan lalu bersama puluhan relawan lainnya telah menyelesaikan misinya, yaitu membangun Rumah Sakit (RS) Indonesia di Gaza, bercerita tentang keheranan seorang pengusaha Gaza terhadap muslimah Indonesia.

Cerita ini disampaikan di kantor pusat MER-C di Jakarta, Kamis (22/5) kepada wartawan Media Islamia.

Ketika masih di Gaza, seorang Gaza yang pernah berbisnis di Indonesia, menceritakan keheranannya terhadap perempuan Indonesia ketika shalat.

Suatu hari di Indonesia, di salah satu mall, si pengusaha Gaza diminta menjadi imam di mushallah mall tersebut. “Saya heran, ketika shalat, wanita Indonesia semuanya tertutup. Tapi, kenapa setelah shalat, semuanya dibuka?” kira-kira seperti itu ungkapan si pengusaha.

Memang pada umumnya, muslimah Indonesia yang tidak berjilbab, ketika shalat mereka mengenakan mukena sehingga tertutup semua auratnya, tapi setelah shalat mukena kembali dibuka sehingga kembali tampaklah auratnya. Sementara itu, di Gaza, masyarakat Gaza sangat menjaga syariat hijabnya.

Sebagaimana yang diberitakan Mi’raj Islamic NewsAgency (MINA), Karidi menceritakan bahwa pendidikan hijab mereka sangat ketat dan dimulai sejak balita.

“Di masa balita, dari umur tiga sampai empat tahun ke atas, tidak ada anak-anak sebaya yang ngobrol atau main bareng antara anak laki-laki dan perempuan. Itu sudah sangat dijaga,” ujar Karidi. 

“Jika terjadi obrolan antara anak sebaya lawan jenis, maka anak itu dianggap aib bagi keluarga,” tegasnya.

Relawan yang mengetuai bidang mekanikal elektrikal di pembangunan RS Indonesia itu mengisahkan, syariat hijab di masyarakat Gaza sangat kuat. Sejak sekolah sudah dipisah antara sekolah laki-laki dan perempuan.

Demikian pula dari segi ruangan tamu di rumah orang Gaza, sudah di tata sedemikian rupa. Ruang tamu memiliki kamar mandi sendiri. Jika tamu mau ke kamar mandi, tidak sampai nyelonong ke belakang hingga melihat ruangan-ruangan yang lain.

“Jika bertamu, kita juga tidak akan mungkin bisa melihat isteri pemilik rumah. Yang menyuguhkan makanan dan minuman adalah suaminya, bukan isterinya,” kata Karidi.

Dia melanjutkan bahwa rumah-rumah warga Gaza memiliki pagar yang tinggi dengan tujuan orang yang lewat di depan rumah tidak bisa melihat langsung ke dalam.

Demikian pula di tempat fasilitas umum, laki-laki dan perempuan sangat dibatasi.

“Masyarakat di sana sudah dididik sejak kecil, jika berjalan menundukkan pandangan. Tidak ada yang namanya berpapasan dengan lawan jenis saling tatap face-to- face,” tambahnya. (HP).


Posting Komentar

 
Top