0

Bulan ini, waktunya membayar pajak Kijang milik Ayahku. Tak kusangka kali ini beliau menugaskanku untuk membayarkannya. Sejak malam harinya, Ayah sudah memberikan gambaran tata cara administrasi kepadaku dan sekaligus denah tempat SAMSAT terletak. Aku hanya mengiyakan dan tak ada bayangan dalam pikiran meski Ayah menyebutkan berulang kali. Akhirnya aku hanya mengangguk dan kutunaikan tugas mulia ini. Untung-untung buat pengalaman.

Jam 8 tepat aku berangkat. Menaiki kuda hitam matic yang sudah 3 tahunan menemaniku. Mulai dari kuliah hingga jalan-jalan sama teman. Udara pagi sedikit terkontaminasi asap-asap bis kota dan kendaraan yang lalu lalang. Aku yang masih muda saja sampai batuk-batuk gara-gara bau yang menyengat berwarna hitam keabuan itu. Hingga di pertigaan lampu merah, ku buka tutup kaca helm dan sedikit mengusap-usap hidungku yang gatal di sentuh gas monoksida tadi.

Sembari menunggu hijau muncul, ku arahkan kedua mataku menyapu sekeliling. Hingga terhenti pada kakek tua yang bersimpuh di bawah tiang lampu.

images (3)sebentar ku pandangi, kemeja abu dengan setelan celana putih tulang. Entah warnanya begitu atau karena ia tak menggantinya beberapa bulan. Kepalanya yang sudah tertutupi uban, semakin disamarkan dengan topi bulat putih yang tak  baru lagi. Tatapannya tak lagi tajam. Kulitnya pun menghitam karna seringnya terkena terik siang. Kerutan tanda penuaan di dahi dan tangan itu cukup menunjukkan bahwa usiamu kira-kira sudah  70-an.

Kutajamkan lagi pandanganku, mengamati polah tingkah mu yang menjulur-julurkan tangan. Wajahmu tertunduk lemas, jikalau menengadah, kau memancarkan aura kesedihan yang mendalam. Mengharap belas kasihan orang yang menunggu hijau untuk sejenak menoleh ke arahmu.

klintiing klintiing klintinggg. . . .

bunyi itu tak asing di telingaku. Itu adalah rengekan dari recehan seratus rupiah, atau mungkin 500 rupiah. Ah, masak iya kakek tua itu ‘mengemis’? Anganku terbelalak. Aku pun memalingkan pandangan pada dua orang yang berboncengan di depan kakek tua itu terduduk. Jelas memang, mereka melemparkan beberapa buah koin 100-an. Lalu kau tau? Kakek  itu seketika mengambil recehan yang bergelimpangan itu dengan cekatan. Sontak aku tercengang. Aku miris, ingin sekali aku menangis. Kek, ternyata kau ‘sekarang mengemis’.

Jauh di sanubariku merasa terpukul, meski kakek tua itu bukan ayah atau ibuku. Aku ikut merasakan sedih dari wajah tuamu. Tak selayaknya kau sekarang duduk di situ. Tak pantas pula kau sekarang kenakan baju lusuh dan kotor penuh debu. Ingin sekali lagi ku menangis. Kulanjutkan perjalananku menuntaskan amanah dari Ayah.

Di jalan, bayangan usang Kakek tadi masih terngiang. Di usianya yang senja, sepatutnya kau duduk manis di teras menikmati secangkir kopi manis. Seyogyanya pula, tak usah kau kerja hanya untuk satu koin rupiah. Seharusnya kau sekarang duduk di kursi goyang yang nyaman dengan segala layanan dari anakmu. Ya ! Anakmu !!

Kemana anak-anakmu Kek?!  Mereka yang dulu selalu kau cukupi kebutuhannya. Mereka yang selalu kau pantaskan pakaiannya agar tak ketinggalan dan malu dengan sebayanya. Mereka yang juga kau nyamankan dengan hunian yang serba di ‘ada-adakan’. Mereka juga yang dulu kau beri uang meski ia tak meminta sekalipun. Sebentar saja ku lihat satu sisi kehidupanmu di tepian trotoar tadi, tak kuasa ku harus berkata. Berkata pada diri ku ini. Orang tua sudah banyak berjasa untuk mendewasakanku. Pontang-panting menuruti segala kemauan. Yang senyatanya tak ada pun di ada-adakan, entah dengan hutang atau berjualan. Kau tau demi apa? Demi sebuah senyum simpul wujud gembira sang buah hati.

Tentu dengan segala kasih yang diberikan, tak akan mampu kita menukarnya. Uang? Jabatan? Rumah mewah? Mobil?. Bukan, bukan itu yang mereka mau. Mereka hanya ingin melihat sosok yang selalu membanggakan, sosok yang dewasa dengan segala cinta. Kasih, murni dan tulus hingga menjadi senyum simpul yang terpancar dari wajah mereka (orang tua kita).

Kek, mungkin bagimu recehan itu bagai emas yang berharga. Satu koinnya kau anggap 10 gram emas 24 karat. Demi tercukupi sesuap nasi siang ini. Biarlah emasmu semakin bertambah, biar ceria terpancar di senjamu nanti. Tak usah kau fikirkan anakmu yang mungkin telah mengasingkanmu. Biar ia menuai buah dari kesombongannya terhadapmu.

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua ibu bapanya…”(Tafsir QS. Al-Ahqaaf: 15)

Ludiana Septi S : seorang pembelajar hidup, berusaha menjadi manusia yang berguna bagi sesama | FKAPMEPI DIY | FLP Yogyakarta
http://ludianass.wordpress.com/2013/06/01/emas-recehan-si-kakek-tua/

Posting Komentar

 
Top