Abul Hayyan Al-Alusy –sebagaimana dikutip Muhammad Abduh-- berpendapat bahwa al-Kautsar
adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Pandangan ini didasarkan pada latar
belakang turunnya ayat dan bahwa yang dimaksud dengan keturunannya adalah
anak-cucu Fathimah binti Muhammad. Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk
menguatkan pendapat ini. Pertama, ia sejalan dengan konteks asbabun
nuzulnya. Kedua, digunakannya kata abtar yang berarti “orang-orang
yang terputus keturunannya”. Walaupun semua putra (laki-laki) Rasul meninggal
sejak kecil, tidak menyebabkan putusnya keturunan Rasul, sebab masih ada putri
baliau, yakni Fathimah yang kemudian melanjutkan ‘dinasti’nya. Ketiga,
dipakainya kata wanhar (dan sembelihlah qurban). Dalam konteks kelahiran
anak, maka penyembelihan tersebut sebagai aqiqah.
Dan banyak lagi pendapat-pendapat ulama
mengenai maksud al-Kautsar yang tidak mungkin kami sebutkan semuanya
dalam tulisan singkat ini. Betapapun banyaknya pendapat tentang hal ini (al-Kautsar)
–bahkan termasuk yang diungkapkan oleh Al-Qurthubi yang tidak kurang dari 15
pendapat— penulis lebih cenderung menilainya bisa jadi semuanya benar. Sungai
di surga, kenabian, keturunan yang banyak pengikut, syafa’at dan lainnya adalah
sebagian segi yang bisa tercakup dalam kata al-Kautsar. Sebab, al-Kautsar
sendiri memang berarti ‘sangat banyak dan melimpah’ yang bisa dipahami dari
segi jenisnya maupun kuantitasnya. Jika dipahami bahwa al-Kautsar adalah
sungai di surga, ini sesuai dengan hadits yang telah saya jelaskan di bagian
pertama. Jika al-kautsar dipahami sebagai syafa’at, kenabian, sifat itsar, dan
lain-lain saya fikir ini juga termasuk dalam al-kautsar jika yang dimaksud
adalah kebaikan yang sangat banyak.
Oleh karena anugerah yang diberikan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad sangat banyak, maka tidak heran jika ayat pertama ini
kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya, yang memerintahkan agar beliau
menyukurinya. Bentuk syukur yang dimaksud adalah dengan melaksanakan shalat
hanya untuk Allah dan menyembelih qurban sebagai kepedulian atas sesama.
Fashalli Lirabbika Wanhar (“Maka shalatlah untuk tuhanmu dan sembelihlah (hewan kurban”).
Perintah shalat yang dipahami dari kata fasholli (maka shalatlah),
menurut Ibnu Katsir, berarti shalat fardlu dan shalat sunnah, sebagaimana dalam
ungkapannya ketika menafsirkan ayat ini. “Maka Ikhlaskanlah untuk tuhanmu
shalatmu yang fardlu dan yang sunnah. Beribadahlah hanya untuk Allah semata,
tidak mempersekutukan-Nya dan sembelihlah hewan kurban atas nama-Nya semata dan
tidak mempersekutukan-Nya.”
Sedangkan menurut Muhammad Abduh, yang
dimaksud perintah shalat di sini adalah semua bentuk ibadah (hendaknya
dilakukan dengan ikhlas karena Allah). Beliau tidak memahaminya sebagai
perintah khusus shalat wajib maupun sunnah, sebab perintah shalat dalam arti
sebenarnya –gerakan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam– di
dalam al-Qur’an selalu terangkai dengan kata aqim (tegakkanlah) atau
bentuk lain yang seakar dengannya. Ulama lain berpendapat bahwa perintah shalat
yang dimaksud adalah shalat ‘Idul Adlha, sedangkan perintah berkurban yang
dimaksud adalah menyembelih hewan kurban setelah melaksanakan shalat ‘Idul
Adha. Pendapat ini disandarkan pada sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu
Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair (Tafsir Wa Bayan, 546).
Ada pula pendapat yang mengartikan ‘shalatlah’
dengan pengertian ‘berdo’alah hanya untuk Allah’. Hal ini didasarkan pada aspek
lughowi di mana shalat secara bahasa adalah do’a. Betapapun banyak ragam
pandangan tentang maksud kata fashalli (maka shalatlah) ini, bisa jadi
semua pendapat di atas adalah benar. Shalat bisa dipahami sebagai do’a (aspek
bahasa), shalat fardlu dan sunnah, shalat ‘Idul Adha, maupun dalam arti semua
ibadah apapun, bukan cuma shalat (ritual) saja. Artinya, pengabdian kita
seluruhnya harus ditujukan hanya untuk Allah SWt semata.
Kemudian, kata wanhar (dan
sembelihlah hewan kurban), huruf waw-nya adalah kata sambung. Penulis
tidak menemukan kata nahara maupun bentuk lain yang seakar kata
dengannya kecuali dalam surah dan ayat ini saja. Secara bahasa nahara
berarti dzabaha yakni menyembelih. Ada juga kata benda nahrun
yang berarti ‘penyembelihan’ dan berarti pula ‘bagian di atas dada’ (Kamus
‘Ashry, hal 1896) sehingga sebagian ulama menafsirkan bahwa kata ini berarti
perintah untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di (atas) dada
ketika shalat. Ada pula pendapat bahwa kata ini berarti perintah menyembelih
hewan kurban di waktu hari raya ‘Idul Adha maupun aqiqah. Pendapat inilah yang
paling masyhur di kalangan ulama dan saya lebih cenderung mengikutinya.
Sebetulnya kata nahara dalam konteks
penyembelihan hewan, dipakai untuk menyembelih unta dalam tradisi masyarakat
arab. Sedangkan istilah untuk hewan lain menggunakan dzabaha. Ketika itu
unta dinilai sebagai kekayaan yang sangat berharga. Ini artinya, secara umum
ayat kedua ini dapat dipahami bahwa manifestasi dari syukur adalah menunjukkan
keikhlasan hanya kepada Allah semata di dalam beribadah, tidak menyekutukan-Nya
terhadap apapun dalam upaya mendekatkan diri kepada-Nya dan dalam menunjukkan
kekhusyukan hati kepada-Nya. Di samping itu, dengan menunjukkan keikhlasan
hanya kepada Allah di dalam mengorbankan sesuatu yang sangat berharga yang kita
miliki sebab Dia pemelihara dan pelimpah segala kenikmatan. Begitulah Allah SWT
menjelaskan anugerah yang amat banyak, yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW
seraya memerintahkan kepadanya agar selalu bersyukur atas semua itu.
Satu lagi ayat (terakhir) sebagai sanggahan
atas tuduhan kaum kafirin bahwa Nabi Muhammad SAW terputus keturunannya /
kebaikannya. Inna Syaaniaka Huwal Abtar. (“Sesungguh-nya yang memusuhimu
itulah yang terputus (keturunan/ kebaikan)”. Kata Abtar secara lughowi
berarti terputus, tidak berbuntut. Kata ini dipakai untuk seseorang yang tidak
meninggalkan kenangan yang berlanjut atau ‘sebutan baik’ bagi dirinya. Keadaan
ini dimisalkan seperti binatang yang terputus buntutnya. Dalam kenyataannya,
pembenci Nabi tidaklah membenci pribadi beliau, sebab beliau memiliki sifat
yang agung, yang semua orang –kawan maupun lawan– menyukainya. Mereka membenci
beliau hanya karena ajaran yang dibawanya.
Jelaslah, bahwasanya yang dimaksud abtar
di sini bisa berarti terputus keturunan para pembenci Nabi, sebab mereka tidak
melanjutkan misi yang diemban bapak-bapak mereka (seperti Al-Walid bin
Mughiroh, Si pemaki Nabi, tetapi anaknya Khalid bin Walid tidak melanjutkan
misi bapaknya, melainkan justru bergabung bersama Rasulullah). Bisa juga
berarti terputus dari kebaikan. Maka apapun pengertian abtar, --baik
terputus keturunan maupun kebaikan– kata ini bersifat umum dan oleh karena itu
dapat menampung kedua pengertian tersebut.
Jadi, jika pada ayat pertama dipahami bahwa
Nabi dianugerahi keturunan yang banyak, maka ayat ketiga berarti bahwa yang
memaki nabi itulah yang bakal terputus keturunannya. Jika pada ayat pertama
diartikan bahwa Nabi mendapatkan nikmat kebaikan yang banyak, maka sesungguhnya
si pemaki Nabi itu pada hakikatnya terputus dari nikmat kebaikan. Kalau
Al-kautsar dipahami sebagai telaga di surga, maka pemaki Nabi tidak akan
mendapatkan / meminum air dari telaga di surga nanti.
Surah al-Kautsar ini dalam asbabun-nuzulnya
turun dengan khitab kepada nabi Muhammad SAW. Tetapi bukan berarti hanya berlaku
untuk beliau saja, melainkan juga bagi semua ummatnya termasuk kita semua
sesuai dengan qa’idah fiqh yang mengatakan: “Pengertian yang diambil (dari
suatu dalil) adalah berdasarkan keumumman lafadznya bukan berdasarkan khususnya
sebab”.
Ibrah
Dari penjelasan sebelumnya maka bisa kita
ambil pelajaran di antaranya sbb:
1. Sifat orang kafir
Sudah menjadi sifat orang kafir yaitu
membenci, memusuhi dan meremehkan orang yang beriman. Kehidupan dunia
dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina
orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia
daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang
yang dikehendaki-Nya tanpa batas (QS 2:212).
2. Ujian bagi orang
mu’min
Orang yang beriman dan konsisten dalam
menegakkan dakwah islamiyah pasti akan mendapatkan ujian berupa kebencian
–bahkan caci maki hingga penindasan fisik– oleh orang-orang kafir di mana
mereka bukan membenci pribadinya akan tetapi terhadap ajaran yang dibawa. Oleh karena
itu bagi siapa pun yang berkecimpung dalam bidang dakwah, sejak dini harus
menyadari akan hal ini.
3.
Sabar, percaya diri dan optimis
Terhadap
ujian di atas –termasuk berupa kenyataan pahit sebagaimana dialami para sahabat
di awal-awal masuk Islam--, harus disikapi dengan penuh sabar, percaya diri dan
optimis dengan syarat beriman kepada Allah dan konsisten dalam menegakkan
dakwah, karena sesungguhnya Allah SWT yang akan melindunginya.
4.
Syukur
Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kenikmatan
yang amat banyak dan melimpah kepada orang yang beriman berupa hidayah iman
& islam, syafaat, kesehatan, keberadaan materi, dsb. Dan kelak, surgalah
tempat tinggalnya. Oleh karenanya semua itu harus disyukuri.
5.
Manifestasi Syukur
Manifestasi syukur atas ni’mat Allah adalah
dengan melaksanakan:
·
Hablun minallah: Ibadah kepada Allah SWT serta tidak menyekutukannya dengan apapun
dalam sesembahan maupun dalam motivasi (baca: niat).
·
Hablun minannas: Kasih sayang dan peduli terhadap sesama manusia dengan mengorbankan sesuatu
yang sangat berharga yang kita miliki. Oleh karena ibadah sosial ini
berhubungan langsung dengan sesama manusia, maka ibadah pada sektor ini rawan
terhadap kemungkinan ingin dipuji manusia atau riya’. Oleh karena itu
pengorbanannya harus dilakukan dengan motivasi yang benar yakni ikhlas semata
hanya karena Allah karena memang hakikat pengorbanan yang kita lakukan adalah
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Intinya, adalah
dengan mengikhlashkan niat semata hanya untuk Allah –tidak menyekutukannya dengan
yang yang lain dalam sesembahan maupun dalam niat– ketika kita melaksanakan
ibadah yang bersifat ritual maupun sosial.
6. Hakikat yang terputus
Yakinlah bahwa sesungguhnya mereka yang
membenci orang-orang yang beriman, itulah yang terputus (dari kebaikan).
Penutup
Demikianlah di antara ibroh yang bisa kita
ambil dari kandungan surah al-Kautsar. Insya Alloh masih banyak rahasia yang
belum terungkap dari kandungan surah ini. Namun inilah yang bisa kami sampaikan
sebatas kemampuan kami. Adanya kekeliruan dalam uraian ini, penulis mohon maaf
kepada para pembaca dan semoga Alloh SWT memberikan ampunan-Nya (mus).
Wallahu
a’lam.
MARAJI’:
- Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an Jilid IV.
- Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain.
- Muhammad Abduh, Tafsir Qur’an Juz 30.
- TM Hasby Assiddieqy, Tafsir Albayan Jilid II.
- M. Hasan Al-Humshi, Tafsir Wa Bayan.
- Attabik Ali, Zuhdi Muhdlar, Kamus ‘Ashry.
- Alqur’anul Karim & Terjemahan-nya.
Penulis: Mustofa
sumber : alhikmah.com
Posting Komentar