0


Drs. H. Ahmad Yani

Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang baik. Dalam proses musyawarah itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan dialog.

Secara harfiyah, syura bermakna menjelaskan, menyatakan, mengajukan dan mengamnbil sesuatu. Syura adalah menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok. Kata syura sudah menjadi bahasa Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah musyawarah. Dalam bahasa Indonesia, musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.

Landasan Hukum Syura
Di dalam Al-Qur’an, terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang syura. Dari ayat-ayat ini, dapat kita simpulkan bahwa musyawarah harus kita lakukan dalam tiga aspek. Pertama, musyawarah terhadap persoalan keluarga, hal ini karena dalam kehidupan keluarga, khususnya antara suami dengan isteri, terdapat hal-hal yang harus disepakati dan diatasi sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik. Allah Swt berfirman yang artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bartaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (2:233).

Dari ayat di atas, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam kehidupan keluarga, persoalan yang tidak terlalu besar saja seperti menyusui harus disepakati melalui proses musyawarah, apalagi persoalan yang lebih besar dan lebih prinsip dari itu.

Kedua, musyawarah terhadap persoaan-persoalan masyarakat sehingga dengan musyawarah itu masyarakat tidak bisa mengelak dari keharusan berlaku patuh kepada ketentuan yang berlaku, Allah Swt berfirman yang artinya. Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka (QS 42:38).

Ketiga, musyawarah terhadap persoalan politik, perjuangan, dakwah dan kenegaraan. Karena itu, ketika Rasulullah Saw memimpin pasukan perang beliau harus bermusyawarah dengan para sahabat yang menjadi pasukannya, namun pada saat hasil keputusan musyawarah tidak dipatuhi, maka hal itu tidak boleh membuat seorang pemimpin menjadi emosional, Allah Swt berfirman yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS 3:159)


Urgensi Syura Dalam Islam
Dalam pandangan Islam., syura memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai Penting dari syura antara lain: Pertama, salah satu prinsip penting dalam ajaran Islam yang sangat ditekanlah Allah Swt, karena hal ini merupakan bagian yang sangat penting dari ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah merupakan salah satu bukti dari iman.

Kedua, prinsip jalan tengah dari segala perbedaan pendapat, yakni prinsip keseimbangan antara kehendak individu dengan kehendak bersama, hal ini bisa kita pahami dalam kaitan kedudukan umat Islam sebagai umat yang pertengahan, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu (QS 2:143).

Kaidah-Kaidah Syura
Di dalam surat Ali Imrah: 159 di atas, terdapat kaidah syura yang harus kita penuhi ketika kita melakukan musyawarah. Pertama, berlaku lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan dengan sikap dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan mereka meninggalkan majelis syura.

Kedua, memberi maaf atas hal-hal buruk yang dilakukan sebelumnya atau orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak-tanduk orang lain terhadap diri kita. Manakala sikap pemaaf ini tidak kita miliki dalam bermusyawarah, hal itu akan berkembang menjadi pertengkaran secara emosional dan berujung pada perpecahan yang melemahnya kekuatan jamaah atau organisasi.

Ketiga, berorientasi pada kebenaran, karena sesudah musyawarah dilaksanakan, keputusan-keputusan yang telah diambil harus dijalankan dan semua itu dalam rangka menunjukkan ketaqwaan kepada Allah Swt. Manakala musyawarah berorientasi pada ketaqwaan dan kebenaran, maka tidak ada pembicaraan yang dikemukakan sekedar untuk meraih kemenangan dalam perdebatan, tapi untuk menjalankan nilai-nilai kebenaran.

Keempat, memohon ampun bila melakukan kesalahan sehingga dalam musyawarah bila seseorang mengemukakan pendapatnya yang disadari sebagai sesuatu yang salah ia akan mencabut pendapatnya itu meskipun telah disetujui oleh majelis syura.

Kelima, bertawakkal kepada Allah Swt setelah musyawarah selesai, bukan malah saling salah menyalahkan ketika ada hal-hal yang tidak menyenangkan menimpa jamaah atau organisasi.

Kajian Syura Dalam Sirah.
Dalam sirah Nabawiyah (sejarah Nabi), kita dapati bagaimana Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabatnya. Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah. Hasilnya adalah pembagian tugas dari masing-masing sahabat, misalnya Ali bertugas tidur di tempat tidur Nabi saw untuk mengelabui orang-orang kafir yang mengepung rumah Nabi. Sementara Abu Bakar ditugaskan untuk mengatur perjalanan dan persembunyian Nabi di Gua Tsur selama tiga hari, termasuk mempersiapkan logistik dan sumber informasi. Adapun Umar bin Khattab mendapat tugas mengalihkan opini orang-orang kafir seolah-olah Nabi telah berangkat ke Madinah, begitulah seterusnya strategi hijrah dimusyawarahkan oleh Nabi dengan para sahabatnya sehingga perjalanan hijrah ke Madinah bisa berjalan dengan baik.

Di samping itu, pada saat hendak berperang, beliau juga bermusyawarah dalam mengatur strategi perang sehingga para sahabat bisa menyampaikan usul dan saran, bahkan bila usul dan saran itu memang bagus, hal itu bisa menjadi keputusan yang disepakati, itulah yang terjadi pada perang khandak atau perang ahzab. Perang ini menggunakan parit sebagai strateginya atas usulan Salman Al Farisi, maka digalilah parit sedalam kaki kuda dan selebar lompatannya.


Hikmah Syura
Manakala syura telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan berjamaah. Sekurang-kurangnya, ada lima hikmah yang akan kita peroleh. Pertama, keputusan yang akan diambil akan lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah. Kedua, masing-masing orang merasa terikat terhadap keputusan musyawarah sehingga ada rasa memiliki terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama. Ketiga, memperkokoh hubungan persaudaraan dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam jamaah pada khususnya yang harus saling kuat menguatkan. Dengan demikian, dapat dihindari terjadinya perpecahan yang diakibatkan tidak dipertemukannya perbedaan pendapat. Keempat, dapat dihindari terjadinya dominasi mayoritas dan tirani minoritas, karena dalam musyawarah, hakikat pengambilan keputusan terletak pada kebenaran, bukan semata-mata pertimbangan banyaknya jumlah yang berpendapat atau berpihak pada suatu persoalan. Kelima, dapat dihindari adanya hasutan, fitnah dan adu domba yang dapat memecah belah barisan perjuangan kaum muslimin, karena musyawarah dapat memperjelas semua persoalan yang dihadapi.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita betapa dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa sangat penting untuk dilakukan musyawarah dan masalah-masalah yang berkembang harus didialogkan sehingga dari dialog bisa dijadikan sebagai pembahasan yang bisa dimusyawarahkan. wallohu a'lam.

sumber : alhikmah.com

Posting Komentar

 
Top