Saya mengenal seorang wanita yang hidup mapan. Bisnis katering nya maju pesat. Harga murah merupakan salah satu kunci. Ia memberi pelayanan antar tanpa di kenakan biaya transportasi karena mobil pengirim adalah kendaraan dinas suami. Lebih baik mobil produktif daripada menganggur di parkiran kantor suami. Untuk pelanggan, ia memanfaatkan banyak koneksi suami yang memang pejabat.
Karena semua kebutuhan rumah tangga terpenuhi oleh suami, penghasilan yang diperoleh si wanita dihabiskan untuk memenuhi hobi mengoleksi jam, tas, dan perhiasan mahal. Suatu hari, terjadi peristiwa yang tidak pernah diharapkan. Suaminya meninggal dan mobil mereka rusak total dalam sebuah kecelakaan beruntun. Di balik kesedihan, terselip sedikit ketenangan karena ia sudah menyiapkan diri untuk mandiri.
Akan tetapi, melanjutkan hidup dan menafkahi anak-anak tak semudah kenyataan. Usaha kateringnya tidak bi sa menyediakan makanan semurah dulu karena kini harus menghitung biaya transportasi. Masih ditambah para klien yang dulu kolega suami ternyata menggunakan jasanya hanya untuk menjaga relasi baik.
Setelah suaminya tidak ada, maka pertimbangan mereka mutlak bisnis. Harga ka tering yang lebih mahal akhirnya membuat si wanita ditinggal kan pelanggan.
Barulah dia menyadari betapa selama ini terlena. Merasa telah mempunyai bisnis besar dan sukses, padahal masih disubsidi fasilitas suami. Ketika subsidi itu hilang, ia tak memiliki kemampuan bersaing.
Apa yang dialami teman saya tersebut mirip dengan situasi subsidi BBM di tanah air. Masyarakat Indonesia sudah nyaman dengan harga BBM yang jauh lebih murah dari Timor Timur, yang dulu merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Harga BBM kita bahkan lebih murah dari banyak negara yang lebih buruk dari Indonesia.
Karena terbiasa membeli BBM murah, kita terbiasa memiliki mental bangsa tersubsidi yang cenderung boros dalam menggunakan BBM. Tidak juga merasa perlu memperdalam efisiensi, telekomunikasi, karena biaya transpor tidak begitu mahal.
Di bidang bisnis, kita mampu menjual barang murah yang sebenarnya tidak untung, tapi tak banyak yang peduli, sebab yang rugi adalah uang subsidi. Karena terbiasa murah dan tersubsidi, akhirnya kita tidak bisa bersaing di dunia Internasional ketika tidak ada subsidi. Meski dulu pun terbukti subsidi tidak lantas membuahkan prestasi, malah membuka pintu-pintu korupsi.
Akibat sikap boros karena tersubsidi, di tambah pihak-pihak yang mementingkan diri sendiri, bangsa mulai kehabisan sumber daya energi fosil. Indonesia sebagai anggota OPEC, negara pengekspor minyak, sejak lama sudah menjadi masa lalu.
Sebagai ibu rumah tangga, saya paham jeritan masyarakat. Betapa tak mudah, apalagi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Naiknya harga BBM akan memicu kenaikan harga barang, sementara gaji pegawai tak lantas naik.
Tetapi, sekalipun memberatkan, masih terselip harapan semoga kenaikan BBM ini menjadi proses pendewasaan, yang mau atau tidak mau, bahkan seharusnya sejak dulu, kita lalui.
Tetapi, dengan kehidupan yang sudah terasa mencekik, apakah kita siap?
Seorang teman tertawa getir ketika kami berdiskusi tentang BBM.
Menurutnya, tak soal BBM naik atau tidak, toh hidup sudah sulit. Menurutnya lagi, dulu rakyat tidak pernah berpikir minyak tanah akan hilang, tetapi kini semua mampu bertahan hidup nyaris tanpa minyak tanah.
Tetapi tentu tak hanya rakyat harus dibuat mengerti. Pemerintah harus sensitif dan menyiapkan kenaikan BBM dengan matang. Berbagai pihak yang tidak setuju, semoga bukan semata memanas-manasi rakyat demi membangun simpati terhadap partai.
Dari pada membuai rakyat dengan barang murah bersubsidi, lebih baik berdayakan rakyat agar mampu me menuhi kebutuhan sendiri.
Penghilangan atau pengurangan subsidi BBM harus diimbangi dengan penghilangan sumber pemborosan energi dan memangkas birokrasi. Banyak pihak keberatan dengan BLSM, sebab uang subsidi seharusnya bukan dibagi-bagikan, tapi digunakan untuk membuat sebanyak-banyaknya lapangan pekerjaan, pendidikan yang murah dan berkualitas, jembatan, jalan raya, dll yang mengurangi kemacetan.
Termasuk menyediakan angkutan umum yang murah, representatif, dan aman hingga mengurangi kendaraan pribadi.
Berkurangnya subsidi harus juga diimbangi dengan sikap hemat pemerintah, perbaikan tata niaga dan industri perminyakan, serta tak memberi ruang sedikit pun pada tindakan korupsi. Rakyat menunggu bukti bahwa kenaikan BBM bukan sekadar upaya pemerintah melimpahkan tanggung jawab persoalan keuangan negara kepada rakyat. Buktikan rakyat mendapatkan manfaatnya dan kebijakan BBM benar untuk kebaikan rakyat.
Satu ujian lagi bagi bangsa ini semoga terlalui, hingga ke depan, insya Allah, Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mapan bukan karena subsidi, tapi karena memang kita berprestasi.
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia Subsidi
sumber : http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/06/23/motode-subsidi-hidup
Posting Komentar