0

Tetangga tepat di depan rumah kami tergolong keluarga mampu. Sang ayah pegawai negeri, bekerja di sebuah dinas kesehatan kota, anak-anaknya ‘jadi’ semua, mapan. Mereka punya pekarangan luas, berbagai macam tanaman ada didalamnya. Setiap musim buah tiba, entah itu rambutan, mangga, durian, nangka, klengkeng, dan beberapa jenis lagi yang saya tidak ingat, sempat membuat saya berpikir “Kenapa Allah tidak menjadikan saya sebagai salah satu dari keluarga mereka?” Rumah dan halaman yang luas juga memungkinkan kami, anak-anak bisa leluasa bermain disana. Tapi saya sering dilarang oleh orang tersebut “Sssstttt....!”katanya, “Jangan main disini!”.

Keberadaan keluarga mereka membuat saya iri. Bagaimana saya tidak iri, jika secara materi mereka mapan, kelihatannya tenteram tidak kekurangan suatu apapun? Bahkan Pak Lurah waktu itu adalah kerabat dekat mereka, suatu posisi dimana mereka akan bisa mendapatkan kemudahan dalam hal misalnya kepentingan mendapatkan surat-surat.

Tidak jauh dari rumah kami, sebelah timur, juga ada sebuah keluarga yang enam anak-anaknya semua pniter. Subhanallah! Ada yang jadi dokter, 5 orang yang saya tahu sarjana semua, lulusan perguruan tinggi negeri. Secara finansial mereka tidak kekurangan. Mereka nampak bahagia sekali. Saya lihat si ayah sesudah masa pensiunnya, aktif di masjid. Sayangnya saya tidak kenal dekat dengan beliau sehingga hampir tidak pernah berbicara. Beliau kelihatannya juga kurang begitu senang jika kita banyak bicara. Saya sempat iri melihat mereka, kenapa Allah tidak jadikan saya sebagai orang yang seperti keluarga mereka: mampu, pinter, dan terpandang di kampung?

Di belakang rumah, sekitar 25 meter jaraknya juga demikian. Ada pula sebuah keluarga mampu yang anaknya hanya tiga orang. Mereka sepertinya tidak pernah mengalami kesulitan keuangan untuk memilih sekolah mana saja yang diinginkan. Yang tertua sudah bekerja sebagai pegawai negeri. Yang kedua dan ketiga sedang kuliah. Rumah mereka bagus, punya toko di depan rumah, perabotan rumah yang indah. Pokoknya bisa membuat semua orang iri, temasuk saya. Bagaimana saya tidak iri melihat kebahagiaan mereka? Seorang rekan saya sempat menjadi guru private anak-anaknya ketika di SD dan SMP.

Di bangku sekolah, saya sempat iri melihat tiga orang teman saya, semuanya dari desa, namun pinter membaca Al Quran, bahkan mendominasi acara-acara keagamaan. Kalau sudah tiba acara yang berbau agama, ketiga orang tersebut muncul, padahal dalam hal pengetahuan sekolah mereka biasa-biasa saja. Namun kenapa saya iri?

Pada saat kerja, ada seorang rekan yang sebaya yang dimata saya, lengkap kehidupannya. Pengetahuan boleh, pekerjaan mapan, harta ada, agama pun tidak ketinggalan. Bagaimana saya tidak iri jika melihat orang-orang yang ada disekitar saya, teman-teman saya, memperoleh kehidupan yang layak, sementara saya? Astaghfirullah!

Rumput tetangga nampak lebih hijau. Begitu kata pepatah populer yang melukiskan bahwa kebahagiaan atau nasib baik seseorang akan nampak atau kelihatan lebih jelas di mata orang lain. Iri, kalau saya boleh sebut demikian agar lebih ‘lunak’ ketimbang ‘cemburu’, adalah hal yang wajar menimpa kehidupan manusia. Hanya orang yang kurang ‘waras’ yang tidak memiliki rasa iri ini. Orang bisa iri karena berbagai sebab seperti pada contoh-contoh kehidupan nyata diatas. Orang iri bisa disebabkan karena adanya ketimpangan harta, kedudukan, rumah, pakaian, ketampanan, kecantikan, kecerdasan, pendidikan, pengalaman, hingga persoalan agama. Melihat macam-macam penyebab iri ini, jika dirangkum pada dasarnya hanya ada dua: iri dalam artian positif dan iri negatif.

Kenapa kita bisa iri? Manusia tidak lepas dari kebutuhan, apakah itu fisik, psikis, sosial serta spiritual. Keempat kebutuhan manusia ini menuntut adanya keseimbangan pemenuhannya. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka akan terjadi gangguan keseimbangan. Namun demikian, kebutuhan orang perorang itu relatif, artinya, seorang petani meskipun kerja sehari-harinya di sawah bukan berarti dia tidak membutuhkan pendidikan. Dia tetap butuh, sekalipun pelaksanaannya tidak harus di bangku sekolah. Sang petani bisa saja menanyakan perihal pertanian kepada teman-teman sesama petani, atau anggota keluarga yang secara tradisi menekuni bidang tani, atau kepada penyuluh pertanian. Kegagalan memperoleh pendidikan dasar pertanian ini akan mengakibatkan misalnya gagalnya panen, rusaknya tanaman karena pengelolaan yang kurang profesional, dan lain-lain. Demikian pula di bidang perdangangan, untuk pandai berdagang misalnya, seseorang tidak harus kuliah ekonomi. Relatif!

Di bidang sosial petani juga membutuhkan teman, karena di desa-desa kita, sudah menjadi tradisi umum kalau lahan pertanian itu dikerjakan secara berkelompok. Akan aneh bila petani memiliki sifat individu yang tinggi yang akibatnya akan sangat merugikan diri sendiri. Pula halnya pemenuhan kebutuhan psikologis lainnya juga amat penting, misalnya dukungan moral dari keluarga, kerabat, terhadap sebagai contoh jenis tanaman yang akan dibenih kelak. Sebagai orang yang beragama, tinggal di tengah-tengah masyarakat, seorang petani juga perlu pemenuhan akan hal yang satu ini, mulai dari sholat wajib yang dilaksanakan di mushollah atau masjid, hingga acara-acara dimana unsur agama akan terlibat didalamnya; pernikahan, kelahiran, kematian, hingga acara rutin pengajian.

Kegagalan memenuhi salah satu kebutuhan tersebut dalam tahap dini akan menjadikan bibit-bibit tumbuhnya perasaan iri pada diri kita. Kalau perasaan ini semakin bertumpuk akan menjadi kronis dan berdampak negatif terhadap berbagai segi kehidupan, mulai fisik hingga spiritual. Orang yang merasa iri karena tetangganya selalu berpakaian mahal, akan terangsang untuk bersaing, berupaya sekuat tenaga bagaimana agar bisa membeli pakaian yang jika mungkin lebih mahal dari yang dikenakan tetangganya. Hati dan perasaannya akan terasa panas jika keinginannya tidak terpenuhi, stres jadi meningkat, nafsu makan berkurang dan ....sakit!

Meski rasa iri ini bertendensi negatif, bisa pula iri ini digunakan sebagai tool untuk merangsang diri kita supaya lebih maju dari pada orang lain. Tengok saja panggilan adzan ‘Hayya alal falaah..’ berlomba-lombalah menuju kebaikan. Ini berarti kita diijinkan menggunakan rasa iri sebagai suatu yang bertujuan positif. Hal yang demikian itu tidak mudah, membutuhkan latihan serta kesabaran. Training! Perlu berbagai upaya yang keras agar bisa tercapai. Beberapa resep dibawah ini bisa membantu agar rasa iri yang negatif bisa berubah menjadi positif :

1. Pemahaman diri. Memahami diri sendiri berarti mengetahui: siapa saya, dimana saya berada, kemana tujuan saya, apa yang saya kerjakan, mengapa saya melakukannya dan bagaimana kondisi saya. Kalau kita lihat contoh petani diatas, jika seorang petani menyadari bahwa dia adalah seorang petani sederhana yang tinggal di desa dekat persawahan, sehari-hari kegiatannya bergelut dengan alat-alat pertanian, tidak mengenakan sepatu jika berangkat kerja, dan latar belakang kenapa jadi petani ya...mungkin saja karena tradisi keluarga, maka tidak ada gunanya jika petani tersebut merasa iri terhadap tetangganya yang bekerja di rumah sakit yang setiap hari harus tampak rapi, berpakaian putih, dan harus selalu terkesan bersih. Seringakli kita terjebak akan kelemahan memahami diri sendiri ini. Kegagalan menempatkan diri sendiri pada proporsi yang sebenarnya akan berakibat tumbuhnya kecemburuan yang kurang sehat.

2. Pemanfaatan potensi. Ada kalanya orang iri karena dia tidak cantik atau tampan. Padahal kecantikan dan ketampanan adalah persoalan yang amat relatif seperti halnya quality. Kita bisa merubah diri kita menjadi cantik atau tampan apabila kita mampu memanfaatkan potensi yang ada didalam diri ini secara maksimal. Karena setiap pribadi dibekali oleh Allah SWT bakat-bakat yang akan tumbuh jika dilatih dengan baik. Seorang yang berbakat menulis tidak akan bisa menjadi penulis yang baik tanpa latihan. Orang yang tidak memiliki bakat menulis pun asalkan mau melatih diri menulis dengan tekun, akan bisa menjadi seorang penulis yang handal. Hasil tulisannya bisa saja mempengaruhi banyak orang. Buahnya? Secara otomatis orang akan memberikan penghargaan bagi kita. Jika kita sudah dalam posisi yang demikian, kecantikan dan ketampanan akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu memoles jasmani.

3. Yang terakhir dan yang paling penting adalah syukur. Selalu mensyukuri nikmat Allah SWT atas segala kebaikan yang dilimpahkan kepada kita karena Allah Mahaadil itu utama. Lihat saja Pulau Madura yang kering ternyata bisa menghasilkan Batik Madura yang terkenal, jagung, garam, hingga aneka makanan laut yang bisa dinikmati oleh manusia di pulau-pulau lain. Pasuruan yang katanya panas, namun rasa mangganya tidak ada yang menandingi, sehingga Malang pun yang konon kaya akan buah dan sayur, harus memborong dari sana. Jika sudah tinggal di Pasuruan, kenapa harus iri untuk bisa memiliki villa di Malang? Banyuwangi kaya akan pisangnya, Madiun terkenal akan durian dan brem nya, dan lain-lain. Seorang PRT kelihatannya tidak bisa apa-apa, namun apa jadinya rumah yang biasanya bergantung kepada PRT jika dia harus cuti atau sedang sakit? Mobil yang mewah tidak berarti apa –apa tanpa keterlibatan buruh pabrik karet. Karena itulah kita wajib bersyukur terhadap nikmat yang besar ini.

Menanggulangi perasaan yang satu ini tidak semudah membalik tangan. Iri bisa berbahaya sekali apabila tidak diantisipasi. Orang bisa terjerumus ke dalam jurang yang lebih curam hanya karena persoalan yang sepele. Oleh sebab itu kita harus hati-hati menghadapi penyakit ini. Pemahaman terhadap diri sendiri, pemanfaatan potensi, serta senantiasa bersyukur kepada Allah barangkali sejumlah langkah yang bisa dimanfaatkan untuk penanggulangannya. Yang lebih penting lagi adalah adanya kesadaran bahwa hidup ini harus diperjuangkan. Dengan begitu InsyaAllah kita bisa kebal dan tidak mudah terkotori oleh virus kronis yang sudah menginfeksi semua sendi kehidupan ini. Wallahu a‘lam!

sumber : eramuslim

Posting Komentar

 
Top