0


Di Jalan dakwah kita menemukan banyak akhwat dengan intensitas kesibukan tinggi bahkan di atas rata-rata. Mengawali paginya dengan rapat, kegiatan seminar, bakti sosial, up grading pengurus, menjadi panitia, membina adik-adik liqa’ nya, menghadiri liqa’ nya sendiri, lalu rapat lagi dan sederet aktivitas lainnya. Kesibukan demi kesibukan yang sangat sangat dicintainya itu membuatnya semakin kokoh berpijak di jalan dakwah.
Namun karena kesibukan yang teramat padat di luar sana, ia tidak sempat untuk memasak di dalam dapurnya dan lebih sering hanya membeli masakan di warung. Perlahan kemudian ia menjadi hilang di dapur, tidak bisa dan bahkan malas untuk memasak. Kalaupun ada itu hanya sekadar memasak nasi di magic jar atau merebus mie instan. Merekalah yang kemudian kokoh berdiri di jalan dakwah tetapi berguguran di dapur.
Padahal memasak adalah skill yang seharusnya dimiliki oleh seorang akhwat. Bagi sebagian kalangan kadang ini terlihat seperti hal yang sepele, tapi sesungguhnya memasak itu adalah jihad. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa jihad seorang wanita adalah di rumahnya? Mengurus rumah tangga, termasuk mengasuh anak dan memasak adalah ladang jihad bagi wanita. Semua tidak akan sia-sia bila dilakukan dengan ikhlas dan diniatkan untuk ibadah.
Keahlian dalam memasak adalah pembeda yang unik, ia adalah salah satu magnet yang mendekatkan seorang suami dengan rumahnya. Meskipun ia menemukan banyak makanan yang terlihat enak di luar, ia tetap akan lebih menyukai masakan yang ada di rumah. Karena ia mengetahui siapa yang memasaknya, mengetahui akan kebersihannya dan mengetahui dengan uang apa itu semua dibeli. Akhwat yang mampu memasak jika telah berkeluarga maka ia akan menjadi perekat di keluarganya, ia menjadi faktor yang membahagiakan suami dan anak-anak melalui masakan yang dibuat.
Selain itu, seorang akhwat jika bisa memasak maka saat ia berperan sebagai seorang istri, ia akan mampu menghemat pengeluaran keluarga. Tapi jika tidak mampu memasak dan hanya mengandalkan masakan yang dijual di warung, maka itu akan menyebabkan pengeluaran yang besar di keluarga.
Harga satu porsi masakan standar yang dijual di warung berkisar Rp. 8000 – Rp. 15.000. Kita ambil harga pertengahan saja: Rp.10.000, maka bayangkan berapa anggaran dana yang dibutuhkan oleh satu keluarga dengan 3 orang anak untuk makan 3 kali dalam 1 hari  yaitu 5 x 3 x Rp. 10.000 = Rp. 150.000 / hari. Dalam sebulan dibutuhkan dana sebesar; Rp. 150.000 x 30 hari = Rp. 4.500.000. Woow 4,5 juta sebuah angka yang fantastis, hanya untuk makan. Angka sebesar itu bagi seorang istri yang cerdas dan bisa memasak bisa dibelikan ke berbagai bahan mentah untuk membuat lebih banyak variasi masakan, tentu saja untuk jangka waktu yang juga lebih lama.
Memang tidak kita pungkiri bahwa ada banyak keluarga ikhwah dengan penghasilan yang besar, Alhamdulillah, sehingga jumlah uang 4,5 juta untuk membeli makanan bagi mereka adalah kecil. Bahkan sebagian mampu menyediakan pembantu yang ditugaskan untuk memasak di rumah. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja ada kehangatan yang hilang di meja makan. Ketika masakan yang dibeli atau dimasak pembantu begitu enak, seorang suami atau anak-anak akan berkomentar, “wah masakan si mbok enak banget ya...”. Akan terasa beda jika komentar yang muncul adalah, “wah masakan ummi enak banget… besok masak lagi ya mi…”. Tuhh kan beda.
Maka tidak ada alasan bagi akhwat untuk tidak bisa memasak, apalagi ketika ia telah menjadi seorang istri. Tidak harus mahir, bisa memasak saja sudah cukup. Asin-asin sedikit tidak apalah, tetap akan masih dipuji oleh seorang suami yang beriman. Tidak sehebat koki pun tak masalah, asal ada kemauan untuk terus belajar. Apalagi di zaman serba canggih, resep masakan apa saja tinggal cari di Google.
Kunci rahasia untuk memasak itu hanya satu, berlatih. Karena hakikatnya memasak adalah suatu keahlian. Pelajari memasak secara bertahap mulai dari level rendah sampai level tinggi, contoh mulailah dengan membuat gorengan – tumisan – asam padeh – gulai – kalio dan terakhir rendang, sebuah masakan dengan level tersulit di Padang. Jangan pernah putus asa ketika ada gorengan yang hangus, tumisan yang hambar, gulai yang asin dan kehancuran fatal lainnya dalam memasak, itu semua biasa saja. Sungguh tidak ada kata terlambat untuk belajar, apalagi untuk belajar memasak. Belajarlah untuk membedakan mana jahe mana lengkuas, mana merica dan mana ketumbar, supaya tidak menjadi akhwat-akhwat yang berguguran di dapur.


Sumber: http://www.dakwatuna.com

Posting Komentar

 
Top