Islam sangat menghargai orang yang bekerja. Baik yang berkaitan dengan upaya mencari penghidupan maupun yang berhubungan dengan peran sosial seseorang di tengah masyarakat. Rasulullah SAW menempatkan bekerja mencari nafkah sebagai amal yang dapat menghapus dosa.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir ra, Rasulullah SAW menegaskan, ''Sesungguhnya di antara dosa itu ada dosa yang tidak dapat dihapus oleh shalat, puasa, haji, dan umrah, tetapi dapat terhapus oleh lelahnya seseorang dalam mencari nafkah.''
Dalam hadis yang lain, beliau juga menegaskan bahwa seseorang yang membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian memikul ke pasar, lalu menjualnya adalah lebih baik daripada ia harus meminta-minta. (HR Bukhari-Muslim).
Dari dua hadis di atas, kita dapat memahami betapa Islam sangat menghargai seseorang yang mau bekerja, mau bersusah payah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga, pekerjaan apa pun, selama tidak melanggar syariat Islam, yang dikerjakan dengan bersungguh-sungguh dan penuh keikhlasan, dinilai sebagai ibadah di sisi Allah SWT.
Dalam sejarah kita melihat bagaimana hebatnya prestasi kerja para sahabat Rasulullah. Di antara mereka ada yang berdagang, bertani, dan menjalani berbagai pekerjaan halal lainnya. Mereka melakukan pekerjaan itu dengan penuh dedikasi dan semangat tinggi, di sela-sela perjuangan mereka menegakkan agama Islam.
Tidak heran jika kemudian mereka terkenal sebagai generasi yang di siang hari bagai singa, tetapi di malam hari mereka laksana rahib-rahib. Mereka adalah generasi yang mampu memadukan kesungguhan dalam bekerja dan kesungguhan dalam beribadah kepada Allah SWT.
Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk berleha-leha, bermalas-malasan, atau bahkan tidak mau bekerja. Atau, mengeluh karena banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Allah SWT memperingatkan: ''Dan katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu'.'' (QS At-Taubah: 105).
Pekerjaan yang dilakukan seseorang, di samping merupakan kewajiban hidup yang harus dijalankan, juga merupakan bukti eksistensinya di tengah-tengah kehidupan sosial. Dengan pekerjaan itu seseorang akan dinilai oleh masyarakatnya.
Orang baik-baik atau orang jahatkah ia, bergantung pada apa yang dia kerjakan. Sebagai contoh, seseorang dikatakan sebagai pahlawan, pembangun, atau tokoh masyarakat, karena apa yang ia kerjakan membawanya kepada sebutan itu. Sebaliknya, sebutan penjahat atau koruptor tidak akan dialamatkan kepada seseorang, kecuali ia telah melakukan pekerjaan jahat atau tindak korupsi itu.
Karena menyangkut bukti keberadaan manusia dalam kehidupan sosial, maka bekerja tidak mengenal batas waktu. Selama hayat masih dikandung badan, maka pekerjaan itu akan melekat pada seseorang.
Tidak ada kata berhenti untuk bekerja. Yang ada mungkin jenis dan intensitasnya yang berbeda. Allah SWT mengingatkan kita akan hal ini: ''Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.'' (QS Alam Nasyrah: 7).
Jadi, hanya mengeluh beratnya pekerjaan atau bertumpuknya pekerjaan yang harus diselesaikan menunjukkan seseorang yang tidak siap menjalani peran sosial dan peran hidupnya. Apalagi bagi seorang pemimpin, mengeluhkan banyaknya pekerjaan hanya menegaskan bahwa ia sebenarnya tidak siap untuk menjadi pemimpin. Wallahu a'lam. (Dedi Nugraha)
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir ra, Rasulullah SAW menegaskan, ''Sesungguhnya di antara dosa itu ada dosa yang tidak dapat dihapus oleh shalat, puasa, haji, dan umrah, tetapi dapat terhapus oleh lelahnya seseorang dalam mencari nafkah.''
Dalam hadis yang lain, beliau juga menegaskan bahwa seseorang yang membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian memikul ke pasar, lalu menjualnya adalah lebih baik daripada ia harus meminta-minta. (HR Bukhari-Muslim).
Dari dua hadis di atas, kita dapat memahami betapa Islam sangat menghargai seseorang yang mau bekerja, mau bersusah payah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga, pekerjaan apa pun, selama tidak melanggar syariat Islam, yang dikerjakan dengan bersungguh-sungguh dan penuh keikhlasan, dinilai sebagai ibadah di sisi Allah SWT.
Dalam sejarah kita melihat bagaimana hebatnya prestasi kerja para sahabat Rasulullah. Di antara mereka ada yang berdagang, bertani, dan menjalani berbagai pekerjaan halal lainnya. Mereka melakukan pekerjaan itu dengan penuh dedikasi dan semangat tinggi, di sela-sela perjuangan mereka menegakkan agama Islam.
Tidak heran jika kemudian mereka terkenal sebagai generasi yang di siang hari bagai singa, tetapi di malam hari mereka laksana rahib-rahib. Mereka adalah generasi yang mampu memadukan kesungguhan dalam bekerja dan kesungguhan dalam beribadah kepada Allah SWT.
Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk berleha-leha, bermalas-malasan, atau bahkan tidak mau bekerja. Atau, mengeluh karena banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Allah SWT memperingatkan: ''Dan katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu'.'' (QS At-Taubah: 105).
Pekerjaan yang dilakukan seseorang, di samping merupakan kewajiban hidup yang harus dijalankan, juga merupakan bukti eksistensinya di tengah-tengah kehidupan sosial. Dengan pekerjaan itu seseorang akan dinilai oleh masyarakatnya.
Orang baik-baik atau orang jahatkah ia, bergantung pada apa yang dia kerjakan. Sebagai contoh, seseorang dikatakan sebagai pahlawan, pembangun, atau tokoh masyarakat, karena apa yang ia kerjakan membawanya kepada sebutan itu. Sebaliknya, sebutan penjahat atau koruptor tidak akan dialamatkan kepada seseorang, kecuali ia telah melakukan pekerjaan jahat atau tindak korupsi itu.
Karena menyangkut bukti keberadaan manusia dalam kehidupan sosial, maka bekerja tidak mengenal batas waktu. Selama hayat masih dikandung badan, maka pekerjaan itu akan melekat pada seseorang.
Tidak ada kata berhenti untuk bekerja. Yang ada mungkin jenis dan intensitasnya yang berbeda. Allah SWT mengingatkan kita akan hal ini: ''Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.'' (QS Alam Nasyrah: 7).
Jadi, hanya mengeluh beratnya pekerjaan atau bertumpuknya pekerjaan yang harus diselesaikan menunjukkan seseorang yang tidak siap menjalani peran sosial dan peran hidupnya. Apalagi bagi seorang pemimpin, mengeluhkan banyaknya pekerjaan hanya menegaskan bahwa ia sebenarnya tidak siap untuk menjadi pemimpin. Wallahu a'lam. (Dedi Nugraha)
sumber : Republika
Posting Komentar