Makna Doa (1)
Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah 186).
Berdoa
adalah salah satu senjata yang ampuh sekali untuk mencapai cita-cita
yang diidam-idamkan, di samping usaha dan daya upaya lahiriah.
Pengalaman
membuktikan bahwa banyak keinginan yang sangat berat untuk diraih, yang
menurut perhitungan akal tidak mungkin akan berhasil, namun dengan
kekuatan doa, yaitu senjata bathin yang dilaksanakan secara ikhlas dan
khusyuk, akhirnya keinginan tersebut terlaksana.
Doa adalah
intinya ibadah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Beliau
adalah seorang nabi yang terbebas dari segala kesalahan dan dijamin akan
masuk surga, namun Beliau adalah orang yang paling banyak berdoa.
Ada
sebuah doa yang sangat sering diucapkan oleh Rasulullah dalam setiap
saat dan kesempatan, terutama di saat beliau selesai melaksanakan shalat
wajib, bahkan doa itu sudah melekat di setiap diri kaum muslimin. Namun
sejauh manakah pemahaman dan pengetahuan terhadap makna yang terkandung
dalam doa itu.
Doa yang sering dibaca Rasulullah adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Anas bin Malik: Kebanyakan doa Rasulullah adalah:
Ya
Rabbaa, berikanlah kepada kami di dunia in kebakan dan di akhirat nanti
kebaikan dan jagalah kami dari adzab api neraka (QS. Al-Baqarah 201).
Ada
dua hasanah (kebaikan) yang Rasul minta dari rangkaian hadits di atas,
yaitu hasanah di dunia dan hasanah di akhirat, yang sudah barang tentu
dua kata yang sama ini mempunyai makna yang berbeda.
Dalam
kaitannya dengan doa in, ternyata para ahli tafsir hadits menjelaskan
bahwa makna yang terkandung dalam kalimat fiddun-ya hasanah (kebaikan di
dunia) paling tidak mempunyai enam (6) unsur. Untuk terbitan kali ini
akan dibahas tiga unsur pertama, dan tiga unsur lainnya akan dibahas
pada terbitan berikutnya.
Pertama
Al-‘Afiyah, kita sering
mendengar bahkan mungkin kita sering mengatakan kata-kata Al-‘Afiyah
yang dirangkaikan dengan kata ‘sehat’ (ash-shihhah), namun kadang-kadang
kita lupa, atau mungkin tidak tahu apa yang dimaksud dengan Al-‘Afiyah.
Yang
dimaksud dengan Al-‘Afiyah adalah kenikmatan dan kesehatan yang tidak
digunakan kecuali di dalam hal yang Allah ridhai, karena tidak jarang
orang yang sehat, namun tidak Al-‘Afiyah, matanya sehat namun
pandangannya tidak Al-‘Afiyah, lidahnya sehat namun ucapannya tidak
Al-‘Afiyah, hatinya sehat namun niatnya tidak Al-‘Afiyah, bahkan
nyatanya kerusakan-kerusakan yang ada dewasa ini, dilakukan oleh orang
yang sehat namun tidak Al-‘Afiyah.
Kedua
Al-Kafaf, merasa
cukup dengan rizki yang telah diberikan Allah, hati tidak mengeluh walau
hidup pas-pasan. Seandainya orang mengikuti hawa nafsu, tidak akan ada
orang yang merasa puas. Sebagaimana sabda Rasul:
Seandainya
seorang manusia memiliki satu lembah emas, niscaya dia akan menginginkan
lembah emas dua lembah emas, dan seandainya dia diberi dua lembah emas,
niscaya dia mengharapkan yang ketiganya. Tiada sesuatu yang akan
memenuhi perut manusia selain tanah. Allah akan menerima taubat orang
yang bertaubat. (HR. Al-Bazzar)
Untuk memiliki Al-Kafaf di dalam
jiwa, Rasulullah saw menyampaikan pesan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Abi Hurairah ra berkata:
Telah bersabda Rasulullah saw: Lihatlah oleh kalian orang yang lebih
rendah daripada kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, itu
adalah lebih baik agar kalian tidak melupakan dan tidak menyia-nyiakan
nikmat Allah terhadap kalian.
Perasaan Al-Kafaf inilah yang akan
mendorong hati manusia untuk bersyukur kepada Allah, atas nikmat dan
anugerah-Nya yang diberikan kepada kita. Jika kita sudah mampu bersyukur
atas nikmat Allah, maka Allah telah menjanjikan akan menambah
kenikmatan kepada kita, sebagaimana firman-Nya:
Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS.
Ibrahim 7)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa yang harus bersyukur
bukan hanya orang yang berkedudukan tinggi dan berharta banyak, tapi
semua manusia diharuskan bersyukur, karena semua manusia mendapatkan dan
menerima kenikmatan dari Allah walaupun kadarnya tidak sama.
Bahkan
sering kali orang kecil lebih banyak menikmati kenikmatan dibandingkan
orang kaya. Mereka dapat merasakan tidur yang nyenyak, walaupun hanya di
atas tikar, namun tidak jarang orang kaya tidak dapat tidur walaupun
dengan fasilitas yang mewah, kalau sebelumnya tidak minum obat tidur.
Karena
itu kenikmatan akan terasa sempurna jika kita bersyukur, dan syukur itu
hanya akan ada pada orang yang hatinya merasakan Al-Kafaf.
Ketiga:
Al-Mar’atush-Shalihah (Istri atau pasangan hidup yang shaleh)
Unsur
ketiga yang ada di dalam fiddun-ya hasanah adalah istri yang shalihah,
karena istri yang shalihah inilah satu-satunya perhiasan dunia yang
paling indah. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
Dunia in adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalihah (Al-Hadits)
Istri
yang shalihah (pasangan yang sholeh) inilah yang akan mampu menciptakan
rumah bagaikan surga, yang akan dapat menjadi pendamping bagi suami dan
menjadi pembimbing anak-anaknya, sekaligus menjadi pendidik yang akan
membentuk kepribadian anak. Pada telapak kaki merekalah adanya surga.
Sebagai
ilustrasi, saya akan ambil figur seorang istri yang shalihah pada zaman
Rasulullah saw – yang sering dimuat dalam sejarah – dia adalah Ummu
Sulaim.
Ummu Sulaim hidup di tengah keluarga yang berekonomi
lemah, tapi tidak menjadi penghalang baginya untuk menjadi manusia
teladan yang mengisi lembaran-lembaran sejarah. Di saat masih gadis, dia
nikah dengan laki-laki bernama Malik, dan dianugerahi seorang anak yang
diberi nama Anas. Di saat Anas masih kecil, Malik meninggal dunia dalam
keadaan belum masuk Islam. Ummu Sulaim menitipkan Anas kepada
Rasulullah saw untuk dididik secara Islami.
Suatu hari datang
seorang laki-laki bernama Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, tiap Ummu
Sulaim menolaknya, bukan dia tidak menyukainya, tapi ada satu penghalang
yang memisahkan mereka, yaitu Abu Thalhah belum masuk Islam, lantaran
dia belum tahu apa itu Islam. Kata Ummu Sulaim: “Kalau kamu masuk Islam,
maka masuk islam kamu itulah yang menjadi mas kawinnya”. Abu Thalhah
tidak keberatan dengan persyaratan itu, dia datang kepada Rasulullah saw
untuk menyampaikan maksudnya dan diterima oleh Rasulullah dengan penuh
kegembiraan. Abu Thalhah pun mengucapkan dua kalimah syahadat, serta
mendengar penjelasan Rasulullah saw tentang Islam. Kemudian, nikahlah
dia dengan Ummu Sulaim.
Walaupun pada mulanya dia masuk Islam
karena mau nikah, tetapi akhirnya sungguh menjadi muslim yang kuat. Di
dalam rumah tangganya yang penuh dengan kebahagiaan itu, mereka
dianugerahi seorang putra yang cakap sekali hingga banyak orang yang
senang melihatnya.
Namun di saat anak itu masih dalam usia balita,
anak itu jatuh sakit, berbarengan dengan itu datang seruan untuk
berjihad, tidak terkecuali Abu Thalhah. Abu Thalhah ingin meminta izin
kepada Rasulullah untuk tidak pergi dengan alasan anaknya sakit, tap di
saat alasan itu terdengar oleh Ummu Sulaim, Ummu Sulaim menghampirinya
seraya berkata, “Wahai Abu Thalhah, tidak pantas seorang muslim tidak
pergi ke medan perang untuk meninggikan kalimat Allah hanya sekedar anak
sakit. Karena itu pergilah wahai Abu Thalhah, biar akulah sebagai
ibunya yang akan merawat dan mengurus anak kita.”
Dengan motivasi
(pendorong) semangat yang diberikan Ummu Sulaim, akhirnya dia pergi juga
bersama Rasulullah. Si anak kian hari kian parah, sewaktu Abu Thalhah
di tengah perjalanan pulang, anaknya meninggal, Ummu Sulaim sebagai
ibunya tidak meratap, dia mengurusnya, mengafani, membaringkannya di
sebuah kamar. Sesampainya Abu Thalhah ke rumah, dia mengucapkan salam
dan langsung bertanya, “Wahai, Istriku bagaimana keadaan anak kita?”
Ummu Sulaim menjawab dengan tenang, “Jangan diganggu, dia sedang
istirahat dan salahkan Andapun istirahat dulu.”
Malamnya, Ummu
Sulaim tetap bertindak wajar sehingga tidak menimbulkan tanda tanya pada
diri Abu Thalhah. Dalam satu riwayat mengisahkan bahwa malam itu mereka
(Abu Thalhah dan Ummu Sulaim) melaksanakan hubungan suami istri.
Di
pagi harinya waktu Abu Thalhah mau pergi ke masjid untuk melaksanakan
shalat shubuh dengan Rasulullah saw, Ummu Sulaim melarangnya dan meminta
agar Abu Thalhah shalat bersamanya. Setelah shalat shubuh, Ummu Sulaim
berkata, “Wahai suamiku, bila ada seseorang menitipkan barang kepada
kita, dan kita diminta merawat barang tersebut dengan imbalan bahwa
barang tersebut boleh kita gunakan, kemudian suatu saat ia datang dan
meminta barang itu kembali. Menurut pendapat-mu bagaimana sikap kita
terhadap orang tersebut?”
Abu Thalhah menjawab, “Tentunya kita harus mengembalikan barang tersebut karena pada dasarnya barang tersebut adalah miliknya.”
Kemudian
Ummu Sulaim berkata, “Ketahuilah suamiku, kita telah sekian lama
dititipi seorang anak oleh Allah, dan telah sekian lama kita mengurus
dan berbahagia karenanya, maka saat ini Allah yang menitipkan anak itu
telah mengambilnya kembali. Maka kita pun harus merelakannya.”
“LIMA MENIT SAJA”
Landasan IMAn untuk MENIngkatkan Taqwa SAmbil bekerJA